Aku bahagia tinggal di Yogyakarta, kota yang hangatnya tak hanya berasal dari matahari, tapi dari manusia2 yang tinggal di dalamnya. Di tengah jalanan yang selalu sibuk dan malam-malam yang tak pernah benar-benar sepi, aku dipertemukan dengan mereka, dua dari Lampung, satu dari Bengkulu, dan aku sendiri, dari Brebes.
Awalnya kupikir aku hanya akan menjadi penonton dalam dunia yang terlalu ramah ini. Tapi lambat laun, mereka menyambutku bukan sebagai tamu, melainkan sebagai bagian dari rumah itu sendiri. Kami tumbuh bersama dalam percakapan ringan, tawa yang tak dibuat2, dan keheningan yang tak canggung. Tidak ada yang bisa sepenuhnya mewakili rasa syukurku atas pertemuan ini,ia terlalu dalam untuk dijelaskan, terlalu utuh untuk sekadar kata.
Namun begini, kehidupan tak pernah hadir tanpa catatan kaki. Di balik lembar2 hangat yang kami tulis bersama, ada satu paragraf yang sengaja kusimpan dalam kurung. Bukan karena aku ingin menyembunyikan, tapi karena tidak semua luka perlu diumbar untuk bisa dimengerti. Ada semacam kabut yang menetap di sudut2 ragaku, kabut yg tak berwarna namun kadang terasa berat. Ia tidak menyakitkan, tapi cukup membuatku berhenti sejenak ketika yang lain masih ingin berlari.
Aku menyebutnya musim transisi.....fase di mana aku tak tahu akan menetap sampai kapan, tapi juga belum siap untuk benar2 pamit. Barangkali, nanti akan tiba waktunya aku harus menepi lebih awal, bukan karena aku kalah, tapi karena tubuhku menyimpan peta yang berbeda. Tapi untuk saat ini, biarkan aku tetap di sini, menulis cerita, tertawa, dan hidup, seolah hari esok selalu bersedia menunggu.
Dan untuk semua itu, aku tak bisa berkata lain, aku bersyukur pernah dipertemukan dengan mereka.(emot bunga besar xixixiixi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar