Tentang jejak di pasir, ia menjadi simbol persoalan dan belenggu masa lalu yang tertanam dalam ingatan, namun perlahan terkikis oleh gelombang waktu. Aku terhempas dalam pusaran kegagalan, berusaha melupakan bekas luka itu, namun upayaku sia2. Jejak2 itu tetap ada, mengingatkanku bahwa kegagalan adalah bagian dari diriku. Namun, pada suatu titik, ombak kehidupan datang menyapu bersih segala yang tertinggal, meninggalkan ruang kosong yang memaksaku untuk berdiri kembali, meski keraguan masih menyelimuti.
Kini, di hadapanku terbentang lembaran baru, sebuah kesempatan untuk memulai lagi. Namun, bayang2 kegagalan masa lalu terus mengintai, menciptakan keraguan dan ketakutan akan terulangnya sejarah yang sama. Aku terjebak dalam kehampaan eksistensial, di mana segala sesuatu terasa tidak pasti, tidak jelas, dan penuh dengan pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku bisa memastikan bahwa langkahku kali ini tidak akan berakhir pada kegagalan yang sama? Apakah aku memiliki kekuatan dan keberanian untuk menghadapi ketidakpastian yang menanti?
Inilah dilema yang kuhadapi "bagaimana melangkah ke depan dengan keyakinan, sambil membawa beban pengalaman yang mengajarkanku untuk lebih berhati hati, tanpa membiarkannya menjadi penghalang". Aku sadar, masa lalu adalah guru yang keras, tetapi ia juga bisa menjadi penjara jika kuizinkan. Jawabannya mungkin terletak pada keseimbangan: belajar dari masa lalu tanpa terbelenggu, dan berani menghadapi masa depan dengan hati yang terbuka. Kegagalan adalah bagian dari proses, dan setiap jejak yang terhapus di pasir adalah bagian dari perjalanan yang membentuk diriku.
Dalam refleksi ini, aku mulai memahami bahwa hidup bukanlah tentang menghindari kegagalan, tetapi tentang bagaimana kita bangkit darinya, belajar, dan terus melangkah. Jejak2 di pasir mungkin akan hilang, tetapi pelajaran yang mereka tinggalkan akan tetap hidup dalam diri kita, membentuk kita menjadi pribadi yang lebih tangguh dan bijaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar