Dalam kehidupan yg tampaknya biasa2 saja, kadang kita tak menyadari bahwa jiwa kita menyimpan sisi lain gelap, liar, dan penuh risiko. Aku dan keempat sahabatku adalah sejenis penjelajah, bukan pengembara rimba atau pencinta ketinggian, melainkan perambah kebenaran yang tersembunyi di balik dinding2 kekuasaan yang retak. Kami menyusup, mengendus, dan menggali rahasia2 yang tak ingin disingkap siapa pun. Kami adalah mata mata, ditugaskan secara diam2 oleh seorang atasan yang bahkan identitasnya pun diselubungi kabut.
Kami berlima masih mahasiswa. Namun bagi sebagian orang, kami sudah dianggap musuh dalam selimut. Mahasiswa pemberontak, begitu mereka menyebut kami karena kami tak ragu untuk menyuarakan ketidakadilan, meski harus berhadapan dengan bahaya. Salah satu dari kami adalah (adiku) saudara kembarku. Ia pantulan wajah dan jiwaku selalu berada di sisiku dalam misi apa pun.
Hari itu, kami mendapat tugas yang berbeda. Sebuah rumah megah tersembunyi di tengah belantara hutan menjadi tujuan kami. Informasi yang kami terima menyebutkan bahwa rumah itu milik seorang tokoh penting, yang terlibat dalam korupsi sistemik yang menjalar seperti akar pohon tua diam, kuat, dan mencengkeram.
Misi ini bukan main2. Risiko kehilangan nyawa terlalu nyata. Namun bagi kami, kematian bukan hal yang menakutkan. Justru tantangan yang terlalu menggoda untuk dilewatkan. Dengan pakaian seperti pendaki, kami berangkat.Namun di tengah perjalanan, sesuatu terjadi. Adikku menerima panggilan telepon dari nomor tak dikenal. Ia menjawab dengan nada curiga, tapi berubah cerah seketika.
"Aku lolos beasiswa. Dapat panggilan wawancara langsung," ucapnya. Matanya bersinar, suaranya sedikit bergetar.
"Aku nggak bisa lanjut. Aku pulang dulu ya."
Aku tak sanggup mengucapkan apa pun. Hanya menatap punggungnya yang menjauh, langkahnya yang pasti meninggalkan kami. Ada kebanggaan yang mendesak di dada,tapi juga kehampaan yang tak bisa dijelaskan.
Kami berempat melanjutkan misi. Sesampainya di tengah hutan, berdirilah rumah besar yang mewah dan mencekam. Kami mendekat. Beberapa pria menyambut dengan senyum ramah dan secangkir teh. Tatapan mereka menyapu tubuh kami, seakan mencoba menelanjangi niat kami dari gerak gerik yang tak sempurna kami sembunyikan.
Ketika malam menebal dan udara menjadi lebih sunyi, kami menyelinap ke dalam. menyusuri lorong sempit dan akhirnya menemukan sebuah pintu kayu di balik dapur. Di baliknya, sebuah tangga menurun ke ruang bawah tanah yang remang dan dingin. Di situlah rahasia disimpan, dokumen, rekaman, dan jejak2 transaksi yang mampu mengguncang bangunan hukum negeri ini. Namun kami terlalu lama di sana. Alarm tak terdengar, tapi kehadiran kami sudah terendus. Suara langkah tergesa memecah keheningan. Kami terpisah. Dalam kekacauan, aku tertangkap. Seorang pria menjambakku dan menghunus golok. Ujungnya dingin menyentuh leherku.
“Aku tahu wajahmu,” bisiknya, lirih namun penuh ancaman. “Kau tak akan hidup lama lagi.”
Aku meronta, menendang, melawan. Dengan keberuntungan yang nyaris mustahil, aku berhasil kabur dan masuk ke hutan. Hujan turun, menambah beban pada tubuh yang sudah lebam. Tak ada sinyal. Tak ada arah. Hanya malam dan napas yang tercekat.
Esoknya, aku sampai di rumah. Tubuh remuk, pikiran kusut. Tapi yang kutemukan jauh lebih buruk dari mimpi terkelam.
Adikku. Ia... disiksa.
Di depan rumah, tubuhnya dikerumuni orang2 berbaju hitam. Dihajar, diinjak, dibantai. Sampai tak lagi menyerupai manusia. Mereka menyangka itu aku. Mereka keliru. Dan dalam kekeliruan itu, mereka telah mengambil nyawa yang paling berarti bagiku. Salah satu dari mereka menatapku dari kejauhan. Ia ragu. Ingin mengejar, tapi tak bergerak. Mungkin karena jasad yang terbujur itu telah cukup untuk membuatnya gentar.
Aku berlari masuk. Bersembunyi di kolong kasur, seperti anak kecil yang takut pada petir. Suara tangis keluargaku menembus lantai.
Dunia tiba-tiba memudar. Segalanya menjadi kabur, dan layar seakan menghitam.
Aku terbangun dengan peluh dingin dan dada yang sesak. Masih di kamarku. Masih dengan selimut yang kusut dan udara malam yang lengang. Di sebelahku, terbuka sebuah e-book di layar laptop "Laut Bercerita".
Aku menghela napas. Mimpi itu... mimpi yang terlalu hidup. Meskipun alurnya berbeda jauh dari buku yang baru saja kubaca, tapi pembantaian, penyiksaan, dan ketegangan yang tersisa di dada membuat jantungku hampir copot. Imajinasi bercampur dengan emosi. Mungkin itu sebabnya mimpi ini terbentuk.
Aku duduk perlahan, menatap gelas air di meja dan meneguknya dalam satu tarikan panjang.
Di luar, dunia masih tenang. Tapi di dalam, pikiranku sebaliknya.
Tamat.